Ruangan kantor yang luas dan sibuk di
pagi hari merupakan aktivitasku setiap harinya terlebih lagi hari ini aku
ditugaskan untuk menuju lokasi tempat syuting untuk meliput acara realita di
perkampungan padat penduduk dari kalangan bawah. Aku merasa bahwa tugas
pertamaku ini akan mengiris hati ketika aku secara langsung bisa melihat kegiatan
mereka sehari-hari. Ya ini tugas pertamaku dalam meliput acara realita yang
berurusan dengan orang pinggiran, sebelumnya aku ditugaskan untuk meliput acara
kuliner, kata atasan sih biar aku bisa mempunyai pengalaman baru dibidang
jurnalis.
“—tu, hei hei kamu denger omonganku tadi
tidak?” Rekan kerjaku berkata seraya melambai-lambaikan tangannya di hadapan
wajahku.
Sial, karena keasyikan ngelamun dan
membayangkan tugas pertamaku jadinya gak sadar kalau rekan kerjaku sedari tadi
bicara denganku.
“O-oh hai Ted, kamu tadi ngomong apaan?”
ucapku sambil menggaruk tengkukku
Teddy memutar bola matanya malas ketika
mendapatkan pertanyaan itu dan berkata, “Geez, sebenarnya ngelamunin apaan sih
kamu May?”
“Bukan apa-apa, oya bukannya kita harus
berangkat sekarang ke tempat liputan? Yuk keburu kesiangan,” ucapku seraya
melirik jam tangan dan bergegas membereskan barang-barangnya di meja.
“Ampun dah untung cewek,” ucap Teddy
sambil membawa peralatan untuk meliputnya dan bergegas mengikuti Maya yang
sudah mendahuluinya lima menit yang lalu.
Kegiatan meliput aktivitas orang
pinggiran di Surabaya sudah aku lakukan selama seminggu ini. Jadi aku dan Teddy
meliput sosok orang yang bernama pak Tar yang sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul
sampah yang bernilai jual walaupun dengan pendapatan yang tidak menentu, pak
Tar selalu bersemangat untuk mencari nafkah. Pak Tar pria berusia 61 tahun yang
selama ini hanya hidup dengan satu orang anak yang berkerja sebagai pelayan di
warung kecil sedangkan istrinya telah meninggal terlebih dahulu karena penyakit
yang dideritanya. Masalah pak Tar tidak hanya keuangan yang tidak mencukupi
tetapi perlakuan tidak adil dari “lintah darat” yang terus menagih pembayaran utang
yang telah menunggak selama tiga bulan belakangan. Hatiku terasa teriris ketika
lintah darat itu dengan kasarnya mendorong tubuh ringkih pak Tar dan terjatuh
di tanah karena tak sanggup menahan perlakuan kasar itu.
Ku hela napasku perlahan untuk kesekian
kalinya karena kejadian itu selalu berputar di pikiranku terus menerus. Hari
sudah mulai malam dan kegiatan di kantor mulai tidak seramai sewaktu pagi hari.
Kutatap layar komputer di hadapanku ini untuk mengedit video yang aku dan Teddy
dapatkan setelah meliput kegiatan setiap hari pak Tar. Sebenarnya ada satu hal
yang aku pusingkan dalam hal mengedit video ini, haruskah aku menyertakan video
kekerasan yang dilakukan oleh para lintah itu atau tidak.
Memikirkannya saja
membuatku ingin mematahkan pensil yang sedari tadi aku genggam, sungguh apa
mereka gak punya otak melakukan hal sekeji itu terhadap orang tua. Sudahlah
lebih baik aku menyelesaikan ini, lagipula kemana perginya Teddy bilangnya
cuman mau beli minuman tapi sampai sekarang belum kembali dan bantu aku
ngerjain ini.
“Gimana sudah selesai tugasnya May?” ucap
Teddy sambil menyerahkan minuman untukku yang dibelinya tadi.
Nah ini dia
orang yang barusan aku omongin, enak sekali omongannya dipikir ngedit video
‘cling’ langsung jadi gitu. Aku mendengus ketika mendengar ucapan seenak
jidatnya Teddy itu, “Kamu pikir aku bisa sihir apa yang dalam sekejam tugas apapun
bisa selesai begitu aja?”
“Oke..oke
maaf aku di depan ketemu pak Ridwan ngomongin tentang kejadian di tempat
liputan kemarin buat minta enaknya diapain rekaman itu.”
“Terus pak
Ridwan bilang gimana?”
“Dia bilang
kita harus potong adegan itu, beliau bilang kita nayangin kehidupan orang bukan
untuk membuat rating acara kita naik tapi untuk menunjukkan penonton bahwa di
sekitar kita ada orang yang kurang beruntung.”
“Iya bener juga sih. Kalaupun ditayangkan
bisa aja penonton bilang itu cuman bualan atau settingan,” Aku menyetejui apa
yang dibicarakan oleh Teddy ini bukan untuk meningkatkan rating acara tapi
untuk menyadarkan masyarakat pada masyarakat kalangan bawah.
“Jadi ayo kita selesaikan video ini untuk
acara kita dan potongan video kekerasan itu kita simpan aja siapa tahu pak Tar
atau anaknya membutuhkan ini ke depannya setuju?” ucap Teddy dengan
menaik-turunkan alisnya
“Geez, baru gitu aja udah sombong
mentang-mentang idemu not bad lah untuk cowok jelek kayak kamu haha,” candaku
tapi sewaktu aku menengok ke Teddy dia sedang menekuk wajahnya seakan tidak
terima. Ku hela napasku ketika aku melihat wajahnya jadi gak tega untuk
ngegodain lebih jauh lagi, “Baiklah Ted hentikkan menekuk wajahmu seperti itu
tadi aku hanya becanda oke.”
Setelah aku berbicara seperti itu muka
Teddy tampak lebih baik dan mood Teddy untuk mengerjakan editing video telah
kembali. Hampir pukul sembilan malam editing video ini sebentar lagi selesai
tak terasa butuh waktu tiga jam lebih untuk menyelesaikannya. Kurenggangkan
otot-ototku yang kaku karena terlalu lama duduk ketika Teddy berhasil menyimpan
video akhir yang siap tayang. Aku mengernyitkan dahi ketika Teddy memberikanku
sebuah flashdisk yang berbeda.
Seakan tahu apa yang aku pikirkan Teddy
mengatakan bahwa, “Ini flashdisk isinya video kekerasan yang dilakukan lintah
darat itu ke pak Tar.”
“Oke makasih Ted,” ucapku seraya
mengambil flashdisk yang berada di tangannya. Kulirik jam tanganku ternyata
sudah setengah sepuluh malam. Aku dan Teddy memutuskan untuk pulang dan
mengunci ruangan tadi, sebelumnya kami sudah mematikan komputer yang ada di
dalam sehingga tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
-END-
0 komentar:
Posting Komentar