Pages

Jumat, 11 Agustus 2017

Realita bukan Mencari Rating

Ruangan kantor yang luas dan sibuk di pagi hari merupakan aktivitasku setiap harinya terlebih lagi hari ini aku ditugaskan untuk menuju lokasi tempat syuting untuk meliput acara realita di perkampungan padat penduduk dari kalangan bawah. Aku merasa bahwa tugas pertamaku ini akan mengiris hati ketika aku secara langsung bisa melihat kegiatan mereka sehari-hari. Ya ini tugas pertamaku dalam meliput acara realita yang berurusan dengan orang pinggiran, sebelumnya aku ditugaskan untuk meliput acara kuliner, kata atasan sih biar aku bisa mempunyai pengalaman baru dibidang jurnalis.

“—tu, hei hei kamu denger omonganku tadi tidak?” Rekan kerjaku berkata seraya melambai-lambaikan tangannya di hadapan wajahku.

Sial, karena keasyikan ngelamun dan membayangkan tugas pertamaku jadinya gak sadar kalau rekan kerjaku sedari tadi bicara denganku.

“O-oh hai Ted, kamu tadi ngomong apaan?” ucapku sambil menggaruk tengkukku

Teddy memutar bola matanya malas ketika mendapatkan pertanyaan itu dan berkata, “Geez, sebenarnya ngelamunin apaan sih kamu May?”

“Bukan apa-apa, oya bukannya kita harus berangkat sekarang ke tempat liputan? Yuk keburu kesiangan,” ucapku seraya melirik jam tangan dan bergegas membereskan barang-barangnya di meja.

“Ampun dah untung cewek,” ucap Teddy sambil membawa peralatan untuk meliputnya dan bergegas mengikuti Maya yang sudah mendahuluinya lima menit yang lalu.


Kegiatan meliput aktivitas orang pinggiran di Surabaya sudah aku lakukan selama seminggu ini. Jadi aku dan Teddy meliput sosok orang yang bernama pak Tar yang sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul sampah yang bernilai jual walaupun dengan pendapatan yang tidak menentu, pak Tar selalu bersemangat untuk mencari nafkah. Pak Tar pria berusia 61 tahun yang selama ini hanya hidup dengan satu orang anak yang berkerja sebagai pelayan di warung kecil sedangkan istrinya telah meninggal terlebih dahulu karena penyakit yang dideritanya. Masalah pak Tar tidak hanya keuangan yang tidak mencukupi tetapi perlakuan tidak adil dari “lintah darat” yang terus menagih pembayaran utang yang telah menunggak selama tiga bulan belakangan. Hatiku terasa teriris ketika lintah darat itu dengan kasarnya mendorong tubuh ringkih pak Tar dan terjatuh di tanah karena tak sanggup menahan perlakuan kasar itu.

Ku hela napasku perlahan untuk kesekian kalinya karena kejadian itu selalu berputar di pikiranku terus menerus. Hari sudah mulai malam dan kegiatan di kantor mulai tidak seramai sewaktu pagi hari. Kutatap layar komputer di hadapanku ini untuk mengedit video yang aku dan Teddy dapatkan setelah meliput kegiatan setiap hari pak Tar. Sebenarnya ada satu hal yang aku pusingkan dalam hal mengedit video ini, haruskah aku menyertakan video kekerasan yang dilakukan oleh para lintah itu atau tidak. 

Memikirkannya saja membuatku ingin mematahkan pensil yang sedari tadi aku genggam, sungguh apa mereka gak punya otak melakukan hal sekeji itu terhadap orang tua. Sudahlah lebih baik aku menyelesaikan ini, lagipula kemana perginya Teddy bilangnya cuman mau beli minuman tapi sampai sekarang belum kembali dan bantu aku ngerjain ini.

“Gimana sudah selesai tugasnya May?” ucap Teddy sambil menyerahkan minuman untukku yang dibelinya tadi.

Nah ini dia orang yang barusan aku omongin, enak sekali omongannya dipikir ngedit video ‘cling’ langsung jadi gitu. Aku mendengus ketika mendengar ucapan seenak jidatnya Teddy itu, “Kamu pikir aku bisa sihir apa yang dalam sekejam tugas apapun bisa selesai begitu aja?”

“Oke..oke maaf aku di depan ketemu pak Ridwan ngomongin tentang kejadian di tempat liputan kemarin buat minta enaknya diapain rekaman itu.”

“Terus pak Ridwan bilang gimana?”

“Dia bilang kita harus potong adegan itu, beliau bilang kita nayangin kehidupan orang bukan untuk membuat rating acara kita naik tapi untuk menunjukkan penonton bahwa di sekitar kita ada orang yang kurang beruntung.”

“Iya bener juga sih. Kalaupun ditayangkan bisa aja penonton bilang itu cuman bualan atau settingan,” Aku menyetejui apa yang dibicarakan oleh Teddy ini bukan untuk meningkatkan rating acara tapi untuk menyadarkan masyarakat pada masyarakat kalangan bawah.

“Jadi ayo kita selesaikan video ini untuk acara kita dan potongan video kekerasan itu kita simpan aja siapa tahu pak Tar atau anaknya membutuhkan ini ke depannya setuju?” ucap Teddy dengan menaik-turunkan alisnya

“Geez, baru gitu aja udah sombong mentang-mentang idemu not bad lah untuk cowok jelek kayak kamu haha,” candaku tapi sewaktu aku menengok ke Teddy dia sedang menekuk wajahnya seakan tidak terima. Ku hela napasku ketika aku melihat wajahnya jadi gak tega untuk ngegodain lebih jauh lagi, “Baiklah Ted hentikkan menekuk wajahmu seperti itu tadi aku hanya becanda oke.”

Setelah aku berbicara seperti itu muka Teddy tampak lebih baik dan mood Teddy untuk mengerjakan editing video telah kembali. Hampir pukul sembilan malam editing video ini sebentar lagi selesai tak terasa butuh waktu tiga jam lebih untuk menyelesaikannya. Kurenggangkan otot-ototku yang kaku karena terlalu lama duduk ketika Teddy berhasil menyimpan video akhir yang siap tayang. Aku mengernyitkan dahi ketika Teddy memberikanku sebuah flashdisk  yang berbeda.

Seakan tahu apa yang aku pikirkan Teddy mengatakan bahwa, “Ini flashdisk isinya video kekerasan yang dilakukan lintah darat itu ke pak Tar.”

“Oke makasih Ted,” ucapku seraya mengambil flashdisk yang berada di tangannya. Kulirik jam tanganku ternyata sudah setengah sepuluh malam. Aku dan Teddy memutuskan untuk pulang dan mengunci ruangan tadi, sebelumnya kami sudah mematikan komputer yang ada di dalam sehingga tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

-END-

0 komentar:

Posting Komentar